.: Selamat Datang di Blog Resmi MI Islamiyah Kedungmegarih Kec. Kembangbahu Kab. Lamongan :.

Sabtu, 07 November 2015

KURIKULUM 2013 (Menyoal SDM dan Kreativitas Pendidik)



Oleh: Saiful Anam Assyaibani*
Sebentar lagi, akan diberlangsungkannya Kurikulum pendidikan paling gress di negeri ini. Seberapa jauh efektivitas sosialisasi itu di samping bergantung pada pihak yang paling berwenang, dalam hal ini pemerintah, namun juga peran para pihak yang terkait di dalamnya, termasuk guru.
Pro-kontra masih terus mengemuka atas Kurikulum tersebut; oleh masyarakat, pengamat pendidikan di sejumlah media maupun di pelbagai diskursus. Pemerintah masih menunggu masukan utamanya dari praktisi pendidikan dalam kesempatan uji publik dari alternatif yang disediakan. Meski demikian, apapun pilihan dari alternatif tersebut kualitas dan mental pendidik dalam hal ini guru adalah ujung tombak dari setiap berlakunya Kurikulum baru di negeri ini.
       Menelisik kembali Kurikulum 2004 yang kita kenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), kemudian 2006 kita kenal dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) adalah konsep manajemen berbasis sekolah. Guru ditantang untuk memiliki otoritas dan mengembangkan model pembelajarannya masing-masing. Persoalannya ‘kebebasan’ yang diberikan Kurikulum tidak mampu ditangkap oleh guru. Dampaknya, Kurikulum itu yang rasanya benda mati, menjadi benar-benar mati. Dan Guru bingung bagaimana mengimplementasikannya dalam proses pembelajaran. Bahkan tidak ada perbedaan mencolok antara Kurikulum KBK, KTSP dan Kurikulum 2013. Namun demikian, saya melihat ada tiga aspek yang menjadi ruh dalam reorientasi setiap Kurikulum. Materi, peran guru-kepala sekolah dan manajemen perubahan.
       Soal materi, guru kita nantinya tergantung teks book, yang artinya tergantung penerbit yang menerjemahkan dan kemudian menjadi buku panduan pengajaran. Materi Kurikulum 2013 adalah asumsi penyederhanaan dari KTSP. Dan kemungkinan besar ini nanti dikembalikan pada bagaimana materi buku panduan. Penuh atau tidak. Karena pada saat materi itu penuh, guru akhirnya akan mengajar satu arah lagi. Padahal kalau dilihat inti dari KTSP,  kalau guru bisa mengembangkan, guru bisa membuat materi sendiri. Dengan kata lain, baik Kurikulum KTSP maupun Kurikulum 2013 sudah ada peluang guru untuk mengembangkan. Walaupun perbedaannya, Kurikulum sebelumnya dengan proyeksi dari mata pelajaran ke tema, sementara pada Kurikulum 2013 dari tema lalu ke mata pelajaran.
       Lantas berkait dengan peran guru itu sendiri akan dituntut untuk berperan bagaimana kemampuan mengelola materi itu. Lalu, pada saat guru sudah mampu mengelola, lantas pertanyaan yang muncul adalah apakah kepala sekolah paham atau tidak dengan kerangka pembelajaran yang lebih aktif. Sehingga kepala sekolah pun berperan memberi ruang seluas-luasnya untuk guru lebih pro aktif dan lebih dinamis.
       Jelas dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 membutuhkan integrasi, butuh team work. Saya kira “banyak guru” paling berat team worknya. Sementara pada Kurikulum ini, guru dituntut harus bekerja sama, jika para guru masih mengedepankan sifat egoisme dan berfikir materi pembelajarannya adalah yang terbaik, maka tentunya ini akan menimbulkan permasalahan tersendiri. Bukan hanya itu saja, masyarakat pun harus cukup punya wacana tentang model, materi, pembelajaran yang baru di sekolah ini. Sehingga tidak terjadi sekolah diprotes oleh orangtua siswa karena tidak memahami nilai perubahan yang diterapkan. Jadi pendekatan sekolah secara menyeluruh itu penting, mulai dari orangtua siswa, guru, kepala sekolah sampai dinas pendidikan harus bersinergi.
       Aspek lain yang tak kalah penting adalah managemen perubahan. Ini serupa dengan arti kata dari bahasa “guru mencari cara nyaman”. Padahal sekolah harus siap berubah, apalagi sekarang ada sekolah Adi Wiyata Mandiri. Kesannya, setelah meraih sekolah Adi Wiyata Mandiri, sudah mapan dan tak perlu lagi ada perubahan. Ini konsep yang salah kaprah. Tidak beda dengan mencari cara yang nyaman.
       Pada realitasnya, kini guru lebih nyaman mengajarkan sesuatu yang sifatnya pilih yang paling gampang materi pembelajarannya, lalu membuat indikatornya dan kemudian membuat evaluasinya. Padahal ada tiga hal yang menjadi pijakan dalam melihat Kurikulum 2013 ini sesungguhnya untuk siapa.
       Yang pertama, ketika Kurikulum 2004 dicanangkan, seolah-olah saat itulah waktu yang tepat untuk kembali pada kompetensi yang dimiliki guru dan sekolah, dengan mengembangkan kecerdasan majemuk. Karena Kurikulum 2004 adalah wilayah otoritas guru, sehingga guru punya peranan besar untuk membentuk karakter siswa. Lalu Kurikulum 2006 dan 2013, saya kira tidak ada pengurangan, justru jam guru lebih banyak dan guru tidak punya kesempatan untuk “bermain-main” dalam proses pembelajaran. Karena berdasarkan pencanangan Kurikulum 2013, guru harus mengembangkan seluruh potensi dasar yang dimiliki oleh peserta didik.
       Kemudian yang kedua, dari struktur Kurikulum 2013 ini sudah semestinya ada potensi yang positif. Yaitu siswa didorong punya ketrampilan lebih dalam. Dan ini sebetulnya menjadi ruh dari KBK yang selama ini cenderung tidak berjalan. Ini yang saya kira di Kurikulum 2013, tentu akan dikembalikan dan lebih ditegaskan lagi.
       Berikutnya, yang ketiga, sebetulnya Kurikulum 2013 ini persoalan siapa?. Inilah pertanyaan yang tidak kalah pentingnya. Bukankah dalam proses pendampingan yang dilakukan sejak tingkat SD-SMA, guru lebih nyaman dengan konsep pembelajaran yang satu arah. Bahkan ada sesuatu yang menjadi sangsi bagi pendidik, bahwa Kurikulum 2004-2006, dan 2013 ini  bagian dari dekonstruksi otoritas guru. Mungkin inilah yang akan menjadi kekhawatiran guru, seolah-olah guru dianggap kemampuannya sama dengan siswa, dan ini menjadi persoalan sendiri bagi guru. Namun di sisi lain bukankah dalam belajar sekarang tidak boleh ada yang merasa lebih tahu. Tetapi semua tahu, hanya berbeda satu sama lain. Ini yang harus dikembangkan oleh sekolah. Intinya bagaimana sekolah atau guru itu punya otoritas dalam konteks pembelajaran yang dilakukannya. Karena sebagus apa pun Kurikulum, kuncinya guru tersebut mampu atau tidak dalam mencerna perubahan dan melakukan gerak cepat dalam proses adaptasi serta mengimplementasikannya dalam metode pombelajaran.
       Masalahnya sekarang adalah, dalam kenyataannya, guru itu tidak mudah menerima perubahan atau hal-hal baru, karena segalanya telah mengakar. Semua Kurikulum, CBSA, KBK, KTSP. Intinya, ada paradigma yang berkembang saat itu. Setiap ada perubahan Kurikulum, SDM-nya sulit menerima. Padahal kalau kita telaah, Kurikulum 2013 ini; CBSA masuk, KBK masuk, KTSP juga masuk. Tinggal menyempurnakan. Meski kemungkinan besar guru sulit meninggalkan pandangan lama, karena masih bercokol dalam benak mereka bahwa behaviorisme dalam pengajaran masih sangat kuat. Tentu perubahan itu tantangan besar, bagaimanapun perubahan Kurikulum ini menuju ke arah yang lebih baik. Hanya bagaimana tanggapan kita di lapangan, tergantung SDM-nya.
       Sebagaimana Kurikulum sebelumnya, Kurikulum 2013 selain berkutat masalah SDM, juga menjadi dilema bagi guru dan pihak sekolah terkait penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). Sebetulnya di satu sisi guru ingin mengembangkan sikap siswa. Di sisi yang lain ujian akhir menjadi beban dan kendala, padahal keduanya harus berjalan bergandengan. Dan sekolah punya otoritas untuk itu, karena karakter siswa adalah wilayah sekolah. Masih banyak yang beranggapan bahwa UN seolah penentu segalanya, padahal itu tidak sepenuhnya benar. Sekolah boleh tidak meluluskan. Hanya saja, memang sekolah akan terbebani persentase kelulusan dan citra sekolah di tengah-tengah masyarakat.
       Dengan kata lain, menghadapi Kurikulum 2013 ini, persoalannya lebih pada SDM, oleh karena itu yang kita butuhkan sebenarnya adalah guru yang “berani” melakukan yang terbaik untuk kepentingan peserta didik, dan tentu saja kreativitas dan lagi-lagi SDM guru sebagai tantangannya. Sekolah sudah selayaknya memberi ruang teramat khusus kepada guru yang mampu menawarkan perubahan dalam membangkitkan motivasi belajar anak, serta tak pernah merasa lelah menemani anak-anaknya dalam proses belajar.
       Kalau ada guru seperti itu, tak ayal lagi ini akan menjadi perubahan yang luar biasa. Guru yang benar-benar bisa mengembangkan nalar yang terintegrasi di sekolah, dan kalau sudah demikian persoalan apa pun tidak akan menjadi masalah.
       Namun biasanya masalah kerap kali timbul dari dalam sekolah sendiri, karena biasanya sekolah tidak mau repot bahkan skeptis, seringkali kreativitas dan perubahan selalu dianggap aneh dan menakutkan, dan guru dengan keberanian dan kreativitas tertentu kerap disepelekan. Padahal bagi guru yang kreatif, jika pun ada Kurikulum yang berubah setiap tahunnya, mereka akan senantiasa siap menyambut dengan kerja, kerja dan kerja. Karena perubahan Kurikulum tidaklah krusial semacam hantu gila yang menakutkan, karena Kurikulum adalah benda mati. Sementara guru dengan kreativitas tertentu adalah manusia yang benar-benar SDM-nya hidup, yang akan menjadi ruh dalam tatanan Kurikulum apa pun.
       Akhirnya, mari kita sambut Kurikulum 2013 ini dengan tangan terbuka, mata yang berbanding lurus dengan cakrawala dan pola pikir yang positif. Seperti menyambut terbitnya matahari pagi yang penuh dengan pengharapan dengan secercah senyuman. Semoga.
     
*) Adalah Guru Sastra & Jurnalistik di MAN Lamongan, dan Pecinta Tafaqquh Fiddin di MA Matholi’ul Anwar Simo.

diutip dari https://tabloidmaarifnu.wordpress.com/

0 komentar:

Posting Komentar