Oleh: Saiful Anam Assyaibani*Sebentar lagi, akan
diberlangsungkannya Kurikulum pendidikan paling gress di negeri ini.
Seberapa jauh efektivitas sosialisasi itu di samping bergantung pada
pihak yang paling berwenang, dalam hal ini pemerintah, namun juga peran
para pihak yang terkait di dalamnya, termasuk guru.
Pro-kontra masih terus mengemuka atas Kurikulum tersebut; oleh
masyarakat, pengamat pendidikan di sejumlah media maupun di pelbagai
diskursus. Pemerintah masih menunggu masukan utamanya dari praktisi
pendidikan dalam kesempatan uji publik dari alternatif yang disediakan.
Meski demikian, apapun pilihan dari alternatif tersebut kualitas dan
mental pendidik dalam hal ini guru adalah ujung tombak dari setiap
berlakunya Kurikulum baru di negeri ini.
Menelisik kembali Kurikulum 2004 yang kita kenal dengan KBK
(Kurikulum Berbasis Kompetensi), kemudian 2006 kita kenal dengan KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) adalah konsep manajemen berbasis
sekolah. Guru ditantang untuk memiliki otoritas dan mengembangkan model
pembelajarannya masing-masing. Persoalannya ‘kebebasan’ yang diberikan
Kurikulum tidak mampu ditangkap oleh guru. Dampaknya, Kurikulum itu yang
rasanya benda mati, menjadi benar-benar mati. Dan Guru bingung
bagaimana mengimplementasikannya dalam proses pembelajaran. Bahkan tidak
ada perbedaan mencolok antara Kurikulum KBK, KTSP dan Kurikulum 2013.
Namun demikian, saya melihat ada tiga aspek yang menjadi ruh dalam
reorientasi setiap Kurikulum. Materi, peran guru-kepala sekolah dan
manajemen perubahan.
Soal materi, guru kita nantinya tergantung teks book, yang
artinya tergantung penerbit yang menerjemahkan dan kemudian menjadi buku
panduan pengajaran. Materi Kurikulum 2013 adalah asumsi penyederhanaan
dari KTSP. Dan kemungkinan besar ini nanti dikembalikan pada bagaimana
materi buku panduan. Penuh atau tidak. Karena pada saat materi itu
penuh, guru akhirnya akan mengajar satu arah lagi. Padahal kalau dilihat
inti dari KTSP, kalau guru bisa mengembangkan, guru bisa membuat
materi sendiri. Dengan kata lain, baik Kurikulum KTSP maupun Kurikulum
2013 sudah ada peluang guru untuk mengembangkan. Walaupun perbedaannya,
Kurikulum sebelumnya dengan proyeksi dari mata pelajaran ke tema,
sementara pada Kurikulum 2013 dari tema lalu ke mata pelajaran.
Lantas berkait dengan peran guru itu sendiri akan dituntut
untuk berperan bagaimana kemampuan mengelola materi itu. Lalu, pada saat
guru sudah mampu mengelola, lantas pertanyaan yang muncul adalah apakah
kepala sekolah paham atau tidak dengan kerangka pembelajaran yang lebih
aktif. Sehingga kepala sekolah pun berperan memberi ruang
seluas-luasnya untuk guru lebih pro aktif dan lebih dinamis.
Jelas dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 membutuhkan integrasi,
butuh team work. Saya kira “banyak guru” paling berat team worknya.
Sementara pada Kurikulum ini, guru dituntut harus bekerja sama, jika
para guru masih mengedepankan sifat egoisme dan berfikir materi
pembelajarannya adalah yang terbaik, maka tentunya ini akan menimbulkan
permasalahan tersendiri. Bukan hanya itu saja, masyarakat pun harus
cukup punya wacana tentang model, materi, pembelajaran yang baru di
sekolah ini. Sehingga tidak terjadi sekolah diprotes oleh orangtua siswa
karena tidak memahami nilai perubahan yang diterapkan. Jadi pendekatan
sekolah secara menyeluruh itu penting, mulai dari orangtua siswa, guru,
kepala sekolah sampai dinas pendidikan harus bersinergi.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah managemen perubahan.
Ini serupa dengan arti kata dari bahasa “guru mencari cara nyaman”.
Padahal sekolah harus siap berubah, apalagi sekarang ada sekolah Adi
Wiyata Mandiri. Kesannya, setelah meraih sekolah Adi Wiyata Mandiri,
sudah mapan dan tak perlu lagi ada perubahan. Ini konsep yang salah
kaprah. Tidak beda dengan mencari cara yang nyaman.
Pada realitasnya, kini guru lebih nyaman mengajarkan sesuatu
yang sifatnya pilih yang paling gampang materi pembelajarannya, lalu
membuat indikatornya dan kemudian membuat evaluasinya. Padahal ada tiga
hal yang menjadi pijakan dalam melihat Kurikulum 2013 ini sesungguhnya
untuk siapa.
Yang pertama, ketika Kurikulum 2004 dicanangkan, seolah-olah
saat itulah waktu yang tepat untuk kembali pada kompetensi yang dimiliki
guru dan sekolah, dengan mengembangkan kecerdasan majemuk. Karena
Kurikulum 2004 adalah wilayah otoritas guru, sehingga guru punya peranan
besar untuk membentuk karakter siswa. Lalu Kurikulum 2006 dan 2013,
saya kira tidak ada pengurangan, justru jam guru lebih banyak dan guru
tidak punya kesempatan untuk “bermain-main” dalam proses pembelajaran.
Karena berdasarkan pencanangan Kurikulum 2013, guru harus mengembangkan
seluruh potensi dasar yang dimiliki oleh peserta didik.
Kemudian yang kedua, dari struktur Kurikulum 2013 ini sudah
semestinya ada potensi yang positif. Yaitu siswa didorong punya
ketrampilan lebih dalam. Dan ini sebetulnya menjadi ruh dari KBK yang
selama ini cenderung tidak berjalan. Ini yang saya kira di Kurikulum
2013, tentu akan dikembalikan dan lebih ditegaskan lagi.
Berikutnya, yang ketiga, sebetulnya Kurikulum 2013 ini
persoalan siapa?. Inilah pertanyaan yang tidak kalah pentingnya.
Bukankah dalam proses pendampingan yang dilakukan sejak tingkat SD-SMA,
guru lebih nyaman dengan konsep pembelajaran yang satu arah. Bahkan ada
sesuatu yang menjadi sangsi bagi pendidik, bahwa Kurikulum 2004-2006,
dan 2013 ini bagian dari dekonstruksi otoritas guru. Mungkin inilah
yang akan menjadi kekhawatiran guru, seolah-olah guru dianggap
kemampuannya sama dengan siswa, dan ini menjadi persoalan sendiri bagi
guru. Namun di sisi lain bukankah dalam belajar sekarang tidak boleh ada
yang merasa lebih tahu. Tetapi semua tahu, hanya berbeda satu sama
lain. Ini yang harus dikembangkan oleh sekolah. Intinya bagaimana
sekolah atau guru itu punya otoritas dalam konteks pembelajaran yang
dilakukannya. Karena sebagus apa pun Kurikulum, kuncinya guru tersebut
mampu atau tidak dalam mencerna perubahan dan melakukan gerak cepat
dalam proses adaptasi serta mengimplementasikannya dalam metode
pombelajaran.
Masalahnya sekarang adalah, dalam kenyataannya, guru itu tidak
mudah menerima perubahan atau hal-hal baru, karena segalanya telah
mengakar. Semua Kurikulum, CBSA, KBK, KTSP. Intinya, ada paradigma yang
berkembang saat itu. Setiap ada perubahan Kurikulum, SDM-nya sulit
menerima. Padahal kalau kita telaah, Kurikulum 2013 ini; CBSA masuk, KBK
masuk, KTSP juga masuk. Tinggal menyempurnakan. Meski kemungkinan besar
guru sulit meninggalkan pandangan lama, karena masih bercokol dalam
benak mereka bahwa behaviorisme dalam pengajaran masih sangat kuat.
Tentu perubahan itu tantangan besar, bagaimanapun perubahan Kurikulum
ini menuju ke arah yang lebih baik. Hanya bagaimana tanggapan kita di
lapangan, tergantung SDM-nya.
Sebagaimana Kurikulum sebelumnya, Kurikulum 2013 selain
berkutat masalah SDM, juga menjadi dilema bagi guru dan pihak sekolah
terkait penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). Sebetulnya di satu sisi
guru ingin mengembangkan sikap siswa. Di sisi yang lain ujian akhir
menjadi beban dan kendala, padahal keduanya harus berjalan bergandengan.
Dan sekolah punya otoritas untuk itu, karena karakter siswa adalah
wilayah sekolah. Masih banyak yang beranggapan bahwa UN seolah penentu
segalanya, padahal itu tidak sepenuhnya benar. Sekolah boleh tidak
meluluskan. Hanya saja, memang sekolah akan terbebani persentase
kelulusan dan citra sekolah di tengah-tengah masyarakat.
Dengan kata lain, menghadapi Kurikulum 2013 ini, persoalannya
lebih pada SDM, oleh karena itu yang kita butuhkan sebenarnya adalah
guru yang “berani” melakukan yang terbaik untuk kepentingan peserta
didik, dan tentu saja kreativitas dan lagi-lagi SDM guru sebagai
tantangannya. Sekolah sudah selayaknya memberi ruang teramat khusus
kepada guru yang mampu menawarkan perubahan dalam membangkitkan motivasi
belajar anak, serta tak pernah merasa lelah menemani anak-anaknya dalam
proses belajar.
Kalau ada guru seperti itu, tak ayal lagi ini akan menjadi
perubahan yang luar biasa. Guru yang benar-benar bisa mengembangkan
nalar yang terintegrasi di sekolah, dan kalau sudah demikian persoalan
apa pun tidak akan menjadi masalah.
Namun biasanya masalah kerap kali timbul dari dalam sekolah
sendiri, karena biasanya sekolah tidak mau repot bahkan skeptis,
seringkali kreativitas dan perubahan selalu dianggap aneh dan
menakutkan, dan guru dengan keberanian dan kreativitas tertentu kerap
disepelekan. Padahal bagi guru yang kreatif, jika pun ada Kurikulum yang
berubah setiap tahunnya, mereka akan senantiasa siap menyambut dengan
kerja, kerja dan kerja. Karena perubahan Kurikulum tidaklah krusial
semacam hantu gila yang menakutkan, karena Kurikulum adalah benda mati.
Sementara guru dengan kreativitas tertentu adalah manusia yang
benar-benar SDM-nya hidup, yang akan menjadi ruh dalam tatanan Kurikulum
apa pun.
Akhirnya, mari kita sambut Kurikulum 2013 ini dengan tangan
terbuka, mata yang berbanding lurus dengan cakrawala dan pola pikir yang
positif. Seperti menyambut terbitnya matahari pagi yang penuh dengan
pengharapan dengan secercah senyuman. Semoga.
*) Adalah Guru Sastra & Jurnalistik di MAN Lamongan, dan Pecinta Tafaqquh Fiddin di MA Matholi’ul Anwar Simo.
diutip dari
https://tabloidmaarifnu.wordpress.com/